Langsung ke konten utama

RANGKUMAN MATERI SEJARAH PERADABAN ISLAM AWAL

Dalam sejarah kehadiran Islam, Mekah adalah tempat yang bersejarah, karena di tempat itu pertama kalinya Muhammad diangkat menjadi nabi. Mekah yang oleh Ptolemius disebut sebagai Macoraba diambil dari bahasa Saba, Makuraba, berarti tempat suci. Ini karena jauh sebelum Islam, Mekah dengan Ka`bah-nya telah dipercaya sebagai “rumah Allah”. Kota Mekah terletak di Tihamah, sekitar 48 mil dari Laut Merah, di sebuah lembah gersang dan berbukit yang digambarkan al-Qur’an sebagai “lembah tak bisa ditanami” (wadin ghairi dzi zar’in). Namun, dengan banyaknya para peziarah, Mekah berkembang menjadi titik lintas perdagangan dari selatan ke utara. Dengan letak yang strategis ini, Mekah lebih maju dibanding kota-kota lain.

            Nabi Muhammad ketika berumur 13 tahun pernah diajak Abu Thalib (sang paman) melakukan perjalanan bisnis ke Syam. Sebelum menikahi Khadijah, Nabi Muhammad didampingi Maisaroh masih mengunjungi Syam untuk kepentingan bisnis. Aktivitas Nabi ke luar kota baru berhenti beberapa tahun sebelum Muhamad diangkat menjadi nabi. Ini karena menjelang turunnya wahyu pertama, Nabi Muhammad lebih banyak bersemadi di gua, bertafakur bukan hanya menyangkut dirinya melainkan justru tentang warga Mekah yang arus utamanya menyembah berhala. Maka, turunlah wahyu pertama dengan perintah membaca.

            Pada mulanya pewahyuan yang diterima Muhammad SAW dianggap sebagai pengalaman spiritual yang privat. Ia menginformasikan pengalaman spiritualnya itu hanya terbatas di lingkungan keluarga terutama istrinya, Khadijah binti Khuwailid. Hingga beberapa bulan kemudian, turun wahyu berikutnya yang memerintahkan Muhammad SAW untuk mengedarkan informasi wahyu itu ke khalayak luas. Namun, penyampaian wahyu ke ruang publik tak mendapatkan penerimaan yang luas. Di sana-sini timbul resistensi-penolakan dari mayoritas penduduk Mekah atas ajaran Nabi Muhammad itu.

            Dua belas tahun (610-622 M) Nabi mendakwakan Islam di Mekah, hasilnya tak terlalu menggembirakan (Madjid, 200: 32). Orang Mekah yang memeluk Islam tak cukup banyak. Ali-alih masuk Islam, orang musyrik Mekah justru melakukan intimidasi dan tindak kekerasan pada beberapa orang Mekah yang masuk Islam. Tidak kuat dengan persekusi itu, Nabi SAW memerintahkan sebagian umat Islam hijrah ke Abyssinia (Ethiopia). Hijrah pertama umat Islam ini tak memadamkan api kemarahan orang musyrik Mekah. Mereka justru meningkatkan tekanan dan penyiksaan kepada umat Islam. Pemboikotan terhadap keluarga Nabi dilakukan. Hinaan kepada Nabi terjadi di mana-mana. Nabi SAW mencoba melebarkan dakwah Islam ke Thaif. Tapi, penduduk Thaif menolaknya --melempari Nabi SAW dengan batu. Persekusi kepada Nabi dan umat Islam meluas terutama ketika dua pelindung Nabi SAW meninggal dunia, yaitu Khodijah (istri Nabi) dan Abu Thalib (paman Nabi SAW).

            Kehadiran umat Islam di kota Madinah mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Nabi SAW pun tak hanya sebagai kepala agama (nabi). Ia juga diangkat sebagai “kepala negara” walau Nabi tak menyebut dirinya sebagai penguasa politik (Syafii Maarif, 1996: 19). Salah satu keputusan politik brilian Nabi SAW adalah dibuatnya sebuah traktat politik yang dikenal dengan “Piagam Madinah” pada tahun pertama hijriah. Piagam Madinah memuat tata hubungan di antara suku-suku yang bertikai di Madinah dan upaya titik temu di antara mereka tanpa menghilangkan keberadaan setiap kelompok atau etnis yang berbeda-beda. Piagam ini memuat 47 pasal. Pasal-pasal ini tak diputuskan sekaligus. Beberapa bulan kemudian, barulah Piagam itu disempurnakan.

            Namun, Piagam Madinah ini tak bertahan lama. Sebagian kelompok di Madinah seperti Bani Nadhir, Bani Qainuqa’ dan Bani Quraidhah melanggar pasal-pasal dalam Piagam itu. Dampak pelanggaran itu, Madinah yang pada mulanya dihuni oleh beragam umat beragama, seiring waktu berubah menjadi kota yang dihuni mayoritas umat Islam. Islam yang pada mulanya hanya sebagai agama suku di Jazirah Arab, yaitu suku Quraish, lambat tetapi pasti Islam berkembang melintasi dimensi kesukuan dan terus berkembang hingga ke berbagai wilayah di dunia. Dalam waktu 22 tahun kepemimpinan Nabi SAW, Islam dapat berkembang ke seluruh jazirah Arab. Madinah memainkan peran penting dalam sejarah pergerakan Islam pada masa kenabian (622-632 M). Selama sepuluh tahun di kota ini, Muhammad SAW adalah seorang nabi dan penguasa yang efektif di sebagian besar jazirah Arab.

            Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, dalam periode Khulafa’ur Rasyidin (632-661), selanjutnya Bani Umayyah (661-750 M.) dan Bani Abbasiyah (750-1258 M.), Islam berkembang pesat melintasi daratan dan lautan ke Afrika Utara, melalui selat Gibraltar ke Eropa dan terus berkembang ke wilayah Timur, anak benua India dan terus bergerak ke Timur hingga ke Asia Tenggara, Tengah dan Cina. (Nur Syam, 2016: 2). Bahkan, pada abad ke 13, Islam sudah memasuki kepulauan Nusantara. Ia terletak di bagian ujung Dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Jauhnya Nusantara dari Timur Tengah membuat islamisasi yang berlangsung sangat berbeda dengan islamisasi yang terjadi di kawasan Afrika Utara, Asia Selatan, dan daerah-daerah Timur Tengah.

            Perjumpaan Islam dengan beragam kebudayaan itu menyebabkan Islam mengalami kemajuan demi kemajuan, bukan hanya dari sudut jumlah umat Islam yang terus bertambah melainkan juga capaian peradaban Islam yang gemilang. Di era Dinasti Umayyah misalnya, dari persatuan berbagai bangsa (Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, Afghanistan, Pakistan, Uzbek, Kirgis) di bawah naungan Islam, timbullah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam baru, sungguhpun Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian kepada kebudayaan Arab. Bahasa administrasi negara diubah dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab. Tak hanya mengubah bahasa administrasi negara, khalifah yang saat itu dijabat Abdul Malik ibn Marwan juga mengubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Sebelumnya yang dipakai adalah mata uang Bizantium dan Persia seperti dirham dan dinar.

            Membangun peradaban Islam itu terus berlanjut dalam kurun waktu sangat panjang pada periode Dinasti Abbasiyah dengan Baghdad sebagai pusat ibukota. Pada masa kekhalifahan al-Mahdi (775-785 M.) misalnya, Dinasti Abbasiyah berhasil meningkat perekonomian warga. Ia membangun irigasi-perairan sehingga negara bisa swasembada gandum, beras, korma, dan zaitun. Tak hanya itu, bidang pertambangan seperti emas, perak, tembaga, besi dan lain-lain juga meningkat tajam. Basrah yang saat itu menjadi pelabuhan penting. Kapal-kapal yang lalu lalang dari Timur ke Barat atau sebaliknya untuk transit memiliki dampak perekonomian yang luar biasa. Kas negara terus meningkat sehingga Harun al-Rasyid (785-809) berhasil membangun rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah kedokteran.

            Tak hanya pada era Harun al-Rasyid, kemajuan peradaban Islam terus berlanjut di era Khalifah al-Makmun (813-833 M.). Bahkan, ia memfokuskan perhatiannya pada pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, ia menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia tak ragu membayar mahal para penerjemah yang sebagiannya beragama Kristen. Dalam periode Dinasti Abbasiyah ini, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan ilmuwan Islam menjadi rujukan dunia. Para cendekiawan Islam saat itu tak hanya dikenal sebagai intelektual yang ahli di bidang agama. Mereka juga memiliki penguasaan yang mendalam terhadap ilmu-ilmu non agama. Pencapaian ini tentu tak hanya karena efek dari kontak intelektual mereka dengan dunia luar seperti Yunani melainkan juga karena keberanian mereka melakukan riset-riset ilmiah. Sebab, pengetahuan yang diperoleh ilmuwan Islam dari penerjemahan buku-buku Yunani itu sesungguhnya tidak banyak. Pengetahuan ini justru diperoleh dari proses penelitian yang panjang dan melelahkan. Ribuan buku sudah dihasilkan para ulama dalam periode Daulah Abbasiyah ini yang hingga sekarang masih terus berguna bagi ilmu pengetahuan.

            Era penerjemahan yang panjang dan produktif pada masa awal Dinasti Abbasiyah juga diikuti dengan penulisan karya-karya orisinal dari para ilmuwan Islam dan yang bukan Islam. Bahkan, orang Kristen dan Yahudi tak hanya ditempatkan sebagai penerjemah, sebagian dari mereka juga menduduki jabatan penting pada bagian keuangan, administrasi, dan jabatan profesional lainnya. Namun, kejayaan Daulah Abbasiyah itu harus terhenti di tahun 1258 ketika Hulagu Khan menyerang Baghdad dengan menghancurkan istana, gedung-gedung dan masjid-masjid yang menghiasi ibu kota kerajaan Abbasiyah. Khalifah dan keluarganya serta sebagian besar penduduk dibunuh. Sebagian berhasil melarikan diri yang di antaranya ada yang menetap di Mesir dan wilayah-wilayah lain. Tak pelak lagi, kekuatan politik Islam melemah. Konflik dan perseteruan antar dinasti-dinasti kecil terjadi. Dunia Islam secara umum mengalami kemunduran.

            Di saat Daulah Abbasiyah jatuh dan dinasti-dinasti kecil Islam berantakan akibat invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan, maka terjadilah perpindahan besar-besaran umat Islam ke India dan Asia Tenggara. Perpindahan massal umat Islam itu terjadi bahkan hingga abad ke 14 seiring ramainya arus pelayaran dan kegiatan perdagangan. Karena kepulauan Melayu merupakan pintu gerbang terdepan bagi kapal-kapal dagang dari arah barat, maka tak mengherankan sekiranya abad ke 13 Islam memasuki kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai (1270-1514) dan Malaka (1400-1511) berdiri. (Abdul Hadi WM, 2006: 446-447).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

El-Zastrouw, Ngatawi dkk. (2020). Materi Pembelajaran Mata Kuliah Agama Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.

 

SUMBER LAIN

PPT Kelompok 3_Sejarah Peradaban Islam Awal

           

Postingan populer dari blog ini

MENGURAI GLOBALISASI: WUJUD BUDAYA DAN PERUBAHAN SOSIAL DI JABODETABEK

A. PENGERTIAN GLOBALISASI Pengaruh globalisasi dalam dunia yang semakin terhubung secara global telah menjadi perhatian utama dalam berbagai bidang. Dalam era globalisasi ini, batasan-batasan geografis semakin terkikis, memberikan ruang bagi pertukaran informasi, ide, produk, dan budaya yang lebih intensif dan cepat. Fenomena ini tidak hanya membawa manfaat yang signifikan, tetapi juga menimbulkan tantangan dan perdebatan yang kompleks. Menurut Anthony Giddens, globalisasi adalah proses di mana dunia semakin terhubung melalui pertukaran informasi, ide, produk, dan budaya secara global. Ia berpendapat bahwa globalisasi melibatkan percepatan interaksi dan interdependensi antara negara-negara, serta melampaui batasan-batasan geografis dan politik. Giddens juga menekankan bahwa globalisasi memiliki dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya (Giddens, 19

TUGAS GEOGRAFI KELAS X SMA BAB HIDROSFER

PERTANYAAN   Jelaskan aktivitas manusia (minimal 3) yang dapat mengganggu proses siklus hidrologi serta dampak yang ditimbulkannya.   JAWABAN   Kegiatan manusia yang memengaruhi siklus air adalah penebangan hutan secara liar. Pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Pembangunan perumahan dan perindustrian. Pembangunan jalan tol dan jalan raya di perkotaan dan desa.   Penebangan hutan liar yang menyebabkan banyaknya lahan kosong sehingga air yang turun tidak terserap oleh tanah. Pembangunan jalan dengan menggunakan aspal dan beton untuk membuat jalan tol dan jalan raya. Aspal dan beton menghalangi air untuk meresap ke dalam tanah. Pembakaran hutan yang dapat menyebabkan struktur tanah dan juga tandus. Tidak menanami lahan-lahan yang kosong dengan tanaman, tetapi mengubah lahan-lahan tersebut menjadi daerah pemukiman. Berkurangnya daerah resapan air di daerah perkotaan sehingga mengakibatkan sungai, danau, dan daerah penampungan air menjadi kering. Apabila kering, maka men

TRANSFORMASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT PESISIR INDONESIA

A. PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL DAN MASYARAKAT PESISIR Dalam era yang terus berkembang ini, perubahan sosial menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut melibatkan berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks masyarakat pesisir Indonesia. Sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, pemahaman yang mendalam tentang perubahan sosial pada masyarakat pesisir menjadi sangat penting. Jan Flora dan Arnold P. Goldsmith menggambarkan perubahan sosial sebagai dinamika sosial dan transformasi struktur sosial yang melibatkan perubahan dalam pola hidup, mata pencaharian, dan pola kekerabatan dalam masyarakat (Flora & Goldsmith, 2003). Dalam konteks masyarakat pesisir, perubahan sosial dapat mencakup pergeseran dalam mata pencaharian dari perikanan tradisional ke sektor pariwisata atau industri lainnya, serta perubahan dalam struktur keluarga dan pola kekerabatan yang dap