Langsung ke konten utama

RANGKUMAN MATERI HADIS SEBAGAI PEDOMAN HIDUP

Hadis mempunyai kedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Meskipun sama pentingnya dengan al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang muslim, tetapi hadis berbeda dengan al-Qur’an. Periwayatan al-Qur’an bersifat meyakinkan (Qath’iyyul Wurud) sebab sejak diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasul Muhammad SAW, lalu secara resmi dibukukan dalam sebuah mushaf pada masa Usman bin Affan, dan terus berlanjut hingga sekarang, telah dihafal. Sumber utama proses periwayatan al-Qur’an bukanlah catatan dalam bentuk tulisan (As-Suthur) melainkan hafalan di dada (Ash-Shudur). Periwayatan hadis tidak mencapai tingkatan tersebut, melainkan hanya sangat diduga kuat (Dzonniyyul Wurud) berasal dari Rasulullah SAW.

            Pengakuan atas al-Qur’an sebagai kitab Allah adalah bagian dari rukun iman, yakni iman kepada kitab-kitab Allah. Demikian pula pengakuan atas Muhammad SAW sebagai Rasulullah adalah bagian dari rukun iman, yakni iman kepada para rasul Allah. Tentu saja hadis adalah salah satu sumber penting yang menopang iman atas kerasulan Muhammad SAW sehingga nyaris mustahil menolak keberadaan hadis secara keseluruhan. Apalagi hadis berfungsi untuk menjelaskan dan merinci petunjuk Allah yang ada dalam al-Qur’an. Namun demikian, sejarah penulisan hadis diwarnai dengan proses verifikasi yang sangat ketat sehingga muncul tingkatan kualitas sesuatu sebagai sebuah hadis, mulai dari kuat (Shahih), sedang (Hasan), lemah (Dlaif), bahkan palsu (Maudlu’). Karenanya pengingkaran atas kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam sangat berbeda dengan pengingkaran atas sesuatu sebagai sebuah hadis. Bahkan pengingkaran pada hadis palsu (Maudlu’) sebagai sebuah hadis adalah wajib karena ia sesungguhnya bukan hadis. Fakta ini menunjukkan pentingnya bersikap sangat hati-hati dalam menerima sesuatu sebagai sebuah hadis sehingga penting mengetahui pengertian, proses verifikasi, dan cara memahami hadis.

            Hadis Nabi kerap disejajarkan dengan Sunah Nabi. Meskipun keduanya sangat terkait erat, sesungguhnya dua kata ini memiliki perbedaan sangat penting yang perlu disadari agar bisa menyikapinya secara proporsional dan mendudukkan keduanya secara tepat dalam konteks sebagai sumber petunjuk terpenting kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran Islam. Sunah Nabi adalah peristiwa, sedangkan hadis adalah riwayat atau laporan atau cerita tentangnya. Sunah Nabi sebagai sebuah peristiwa adalah tunggal sehingga tidak memiliki banyak versi dan tingkatan kualitas sunah juga tidak dikenal. Sebaliknya sebagai sebuah riwayat atau laporan atau cerita tentang sebuah peristiwa, hadis sangat tergantung pada periwayat atau pelapornya sehingga satu sabda atau perbuatan Nabi yang sama bisa melahirkan banyak riwayat hadis, bahkan yang bertentangan satu sama lain. Periwayatan atas sunah atau yang disebut dengan hadis ini tentu saja tergantung pada pengetahuan para periwayat atas sebuah peristiwa, kemampuan memahami dan mengingatnya, dan sebesar apa ia bisa dipercaya. Semua faktor ini melahirkan tingkatan kualitas sebuah hadis.

            Sunah sebagai tindakan Rasullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sangat terjaga sebab beliau adalah manusia yang dijaga oleh Allah (ma’shum). Dalam menyampaikan wahyu al-Qur’an beliau tidak mungkin salah, dan dalam hal lainnya apabila belia salah bersikap, akan langsung ditegur oleh Allah Swt. Sementara hadis adalah riwayat, laporan, dan cerita tentangnya yang dilakukan oleh para sahabat Nabi sebagai manusia biasa yang tidak ma’shum sebagaimana Nabi. Jadi iman kita kepada nabi Muhammad Saw sebagai Rasulullah, keyakinan kita pada Sunah Nabi sebagai pedoman hidup seorang Muslim, dan pentingnya hadis sebagai sumber informasi tentang sunah, tidak menghalangi pentingnya seorang Muslim bersikap hati-hati dalam menyikapi sesuatu sebagai sebuah hadis. Bahkan ulama pun sudah sangat hati-hati dalam melakukan verifikasi ketat untuk menetapkan sesuatu sebagai sebuah hadis.

            Ilmu hadis pada awalnya muncul dari kepedulian umat Islam untuk menjaga ucapan Nabi Muhammad dari penyalahgunaan sekelompok orang untuk tujuan-tujuan jangka pendek. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk menulis dan mengumpulkan semua ucapannya. Kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an dengan ucapan Nabi, merupakan di antara motif tidak diperintahkannya penulisan hadis pada masa Nabi Muhammad. Setelah Nabi Muhammad wafat, Islam tersebar luas hingga keluar Jazirah Arab. Bangsa-bangsa non Arab banyak yang memeluk Islam. Bersamaan dengan itu, para sahabat nabi pun ikut berpencar sebagai konsekuensi dari penyebaran agama Islam.

            Dikaitkan dengan perkembangan ilmu hadis, masa terpecahnya pemerintahan Islam menjadi pemerintahan Ali bin Abu Thalib dan pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan (tahun 40 Hijriyah) dikatakan sebagai masa pertama beredarnya hadis-hadis palsu yang dihubung-hubungkan dengan situasi politik yang berkembang. Hadis-hadis palsu itu memuat sanjungan terhadap tokoh politik yang didukung, dan celaan terhadap tokoh yang menjadi lawan politiknya. Tidak sampai di situ. Sanjungan di dalam hadis-hadis palsu kemudian melebar hingga ke aspek geografis. Daerah-daerah yang menjadi basis pendukung utama seorang tokoh, mendapat pujian setinggi langit di dalam hadis-hadis palsu itu. Begitu pula sebaliknya, daerah-daerah yang menjadi basis perlawanan seorang tokoh, mendapat celaan. Kondisi seperti itu terus berlangsung hingga abad kedua Hijriyah. Perlu juga untuk disampaikan di sini bahwa persoalan politik bukan satu-satunya pemicu kemunculan hadis-hadis palsu. Para ulama hadis menyebut di antara sebab lain munculnya pemalsuan hadis adalah keinginan untuk meraih popularitas di hadapan khalayak.

            Kegelisahan para ulama terhadap maraknya peredaran hadis-hadis palsu mengundang perhatian Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari dinasti Umayyah. Setelah mendengarkan saran dan pertimbangan dari para ulama, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk melakukan proyek pengumpulan dan penulisan hadis-hadis Nabi Muhammad. Upaya melestarikan hadis-hadis Nabi itu selanjutnya diteruskan oleh para ulama hadis, seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi, dan al-Thabrani. Upaya pelestarian yang dilakukan oleh para ulama itu yang kemudian melahirkan disiplin baru di dalam keilmuan Islam, yaitu ilmu hadis. Dengan disiplin ilmu hadis itu, para ulama menyeleksi hadis-hadis yang bertebaran di masyarakat. Sebagian hadis itu ada yang dinilai shahih—dalam arti periwayatannya benar berasal dari Nabi Muhammad, melalui orang-orang yang kuat ingatannya, terpercaya, dan adil (dalam arti tidak sering melakukan maksiat)—ada pula yang dinilai hasan (baik), yang derajatnya di bawah shahih, ada juga yang dinilai dhaif (lemah)—dalam arti tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai hadis shahih dan hadis hasan—dan bahkan ada yang dinilai mawdhu’ (palsu), yaitu hadis yang bukan merupakan ucapan Nabi Muhammad.

            Sebuah hadis muncul dalam konteks menceritakan sosok Rasulullah Saw, peristiwa saat beliau bersabda, melakukan sesuatu, atau memberikan sikap atas apa yang dilakukan para sahabat beliau. Saat beliau bersabda, para sahabat ada yang menceritakannya dengan mengutip langsung sabda beliau (bil-lafdzi atau lafdzan), ada pula yang tidak langsung (bilma’na atau ma’nan). Sunah Rasulullah Saw terjadi sekali sepanjang perjalanan hidup beliau. Ibarat sebuah buku, begitu wafat maka lembar terakhir sunah Nabi pun berakhir. Generasi muslim yang masuk Islam setelah beliau wafat, apalagi lahir setelah beliau wafat, apalagi generasi muslim yang lahir berabad-abad setelah beliau wafat tentu saja tidak bisa melihat langsung peristiwa sunah Nabi ini dan hanya mengandalkan pada periwayatan generasi sahabat yang hidup sebagai Muslim selama beliau masih hidup, yang diceritakan kepada generasi setelah mereka (Tabi’in) dan generasi setelahnya (Tabi’it Tabi’in).

            Proses pembuktian sesuatu sebagai sebuah hadis bukanlah perkara sepele. Para ulama hadis telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka untuk melakukan kerja peradaban yang berat ini. Langkah pertama pembuktian adalah apakah sebuah riwayat bisa dibuktikan sebagai ucapan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah Saw atau tidak. Jika ada seseorang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mengatakan sesuatu, maka ia hanya akan dianggap hadis adalah jika sesuatu itu benar-benar dari Rasulullah. Artinya, meskipun sebuah riwayat mengandung pesan kebaikan namun jika terbukti riwayat tersebut tidak mungkin berasal dari Rasulullah SAW, riwayat ini mengandung kebohongan karena dikatakan dari Rasulullah Saw padahal tidak. Setelah bisa dibuktikan, maka langkah pembuktian berikutnya adalah menyangkut isi riwayat, yakni apakah bisa dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari ajaran Islam atau tidak.

Usaha para Ulama Hadis (Muhaddisin) untuk mengumpulkan hadis-hadis dalam sebuah kitab adalah prestasi yang luar biasa. Mereka telah menggunakan sebagian besar usianya untuk mengumpulkan dan melakukan verifikasi rangkaian perawi dari ribuan hadis. Warisan karya yang memudahkan masyarakat muslim generasi berikutnya untuk mendeteksi kualitas sanad sekian banyak hadis sehingga bisa membatasi diri untuk hanya menggunakan hadis-hadis dengan sanad yang kuat dan bisa terhindar dari hadis palsu. Masyarakat generasi berikutnya hingga saat ini dapat melanjutkan usaha para ulama hadis dengan secara aktif memastikan hadis yang digunakan juga secara isi atau matan bisa dipertanggungjawabkan.

Sebuah hadis yang berkualitas secara rangkaian perawinya (Sanad), masih memerlukan verifikasi secara isi (Matan) agar berkualitas dalam kedua aspeknya. Setelah secara isi juga terbukti kuat, maka tahap berikutnya adalah pemahaman atas hadis yang juga mesti dilakukan secara hati-hati agar sesuai dengan misi Islam. Salah satu kriteria kualitas sebuah hadis menurut isinya adalah tidak bertentangan dengan al-Qur’an, maka demikian pula pemahaman atas sebuah hadis. Prinsip dasar dalam memahami sebuah hadis adalah keharusan sejalan dengan misi Islam dan al-Qur’an yaitu mewujudkan anugerah bagi semesta sehingga mencerminkan kepasrahan hanya kepada Allah (Islam) dengan hanya memberikan kepasrahan pada nilai kebaikan bersama, baik sesama manusia maupun makhluk Allah. Mustahil bagi Allah memaksudkan firman-Nya dalam al-Qur’an bertentangan dengan prinsip Tauhid, kemaslahatan manusia, pelestarian alam, dan kemaslahatan makhluk lainnya. Demikian pula mustahil bagi Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah untuk memaksudkan sabda, perbuatan, dan ketetapannya bertentangan dengan prinsip Tauhid dan kemaslahatan sesama manusia, pelestarian alam, bahkan kemaslahatan sesama makhluk Allah sebagai penghuni alam semesta.

Para ulama berpendapat bahwa hadis berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an. Hadis atau Sunah menjelaskan hukum-hukum yang termuat di dalam al-Qur’an. Nabi Muhammad sebagai penafsir terkadang menjelaskan al-Qur’an dengan ucapannya, dan terkadang pula menjelaskan dengan perbuatannya. Sehingga semua sisi dari kehidupan Nabi Muhammad disebut oleh Aisyah binti Abu Bakar, istrinya, sebagai al-Qur’an yang berjalan (the living Qur’an). Penggambaran Aisyah terhadap Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai penafsir al-Qur’an, itu memberi semacam penegasan bahwa alQur’an tidak dapat dipahami secara tekstual semata. Tetap dibutuhkan penjelasan terhadap al-Qur’an, yang sifatnya otoritatif, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Demikian pula halnya dengan hadis atau sunah Nabi. Walaupun ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad dianggap jelas oleh sebagian orang, namun penerapannya dalam beberapa masalah, pada masa sekarang membutuhkan kontekstualisasi. Ruang dan waktu menjadi pembatas diterapkannya ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad dalam situasi seperti sekarang ini. Umar ibn al-Khatthab pernah menyinggung pentingnya kontekstualisasi tersebut di dalam suratnya yang dikirim kepada Gubernur Abu Ayyub al-Anshari. Di dalam surat itu, Umar menulis, “ dahulukanlah pemahaman terhadap perkara yang tidak Anda jumpai di dalam al-Qur’an dan sunah. Lalu, lakukanlah qiyas (analogi) terhadap perkara itu dengan perkara yang disebut di dalam al-Qur’an dan sunah.”

Kontekstualisasi terhadap hadis itu—dan juga al-Qur’an—yang mendorong munculnya ilmu fikih dan ushul fikih di dalam khasanah pemikiran Islam. Upaya kontekstualisasi al-Qur’an dan hadis itu yang memberi kontribusi signifikan bagi dakwah Islam. Sehingga ajaran Islam dapat diterima oleh bangsa-bangsa di luar Arab. Di antara upaya kontekstualisasi hadis yang dilakukan oleh para ulama, adalah dengan menulis karya-karya yang berisi penjelasan terhadap hadis. Penjelasan itu terutama dilakukan terhadap hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh para ulama sebelumnya. Kitab Shahih al-Bukhari, tercatat sebagai kitab yang paling banyak diberikan penjelasan dan komentar dari para ulama sesudah al-Bukhari. Tidak kurang dari 40 karya diterbitkan untuk menjelaskan hadis-hadis yang dihimpun di dalam Shahih al-Bukhari. Di antara 40 karya itu, karya Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath ul-Bari, merupakan karya yang paling dikenal. Selain dari Shahih al-Bukhari, kitab-kitab hadis yang disusun oleh Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan lain-lain juga diberi penjelasan dan komentar oleh ulama hadis sesudahnya. Kegiatan menjelaskan dan memberi komentar terhadap kitab-kitab hadis itu masih berlangsung hingga saat ini.

Usaha untuk memahami hadis atau sunah Nabi Muhammad harus didasarkan kepada kaidah-kaidah yang disepakati oleh para ulama. Penggunaan kaidah-kaidah yang telah disepakati itu, dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan dan kesalahan pengartian terhadap ucapan Nabi Muhammad. Seorang ulama mazhab Maliki bernama Ibnu Wahab berpendapat bahwa hadis Nabi merupakan tempat bagi seseorang untuk menjadi sesat kecuali bagi para ulama. Pendapat itu didasarkan kepada fakta bahwa hadis-hadis Nabi itu dikumpulkan di dalam kitab-kitab hadis itu, dengan tidak disertai penjelasan mengenai kronologi, konfirmasi, dan kontekstualisasi yang dilakukan oleh para ulama. Karena itu, dibutuhkan peran ulama untuk mendapatkan pemahaman yang proporsional terhadap hadis Nabi Muhammad.

Para ulama telah merumuskan satu bahasan yang diberi nama ilmu ma’anil hadits. Abdul Majid Khon mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang mempelajari cara memahami makna matan (isi) hadis, ragam redaksi, dan konteksnya secara komprehensif, baik dari segi makna yang tersurat maupun makna yang tersirat. Ilmu ma’anil hadits juga dikenal sebagai ilmu fikih hadis, yaitu ilmu yang mempelajari proses memahami dan menyingkap makna kandungan sebuah hadis. Metode memahami hadis dibutuhkan karena kemunculan hadis tidak dapat dipisahkan dari konteks situasi dan masalah yang terjadi. Sebagai seorang manusia, Nabi Muhammad mempunyai keterkaitan dengan situasi yang terjadi di sekitarnya. Situasi itu mempengaruhi tindakan Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai manusia. Melalui ilmu ma’anil hadits, ilmu tentang makna hadis, kita dapat mengetahui mana saja dari ucapan dan tindakan Nabi Muhammad yang menjadi hukum bagi semua umatnya dan mana saja yang tidak menjadi hukum. Dari situ kita bisa memahami bahwa tidak semua hadis mempunyai konsekuensi hukum. Dan sikap tidak mengikuti Nabi Muhammad dalam beberapa hal, juga tidak dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap syariat Nabi Muhammad. Ada dua metode di dalam memahami hadis Nabi Muhammad; metode tekstual dan metode kontekstual. Metode tekstual adalah metode memahami hadis menurut yang tertulis secara verbatim tanpa mengaitkannya dengan situasi ketika hadis itu disampaikan. Sedangkan metode kontekstual adalah metode memahami hadis dengan mengaitkan antara teks dengan situasi yang terjadi ketika hadis Nabi disampaikan.

Hadis adalah pedoman hidup seorang Muslim untuk bisa melakukan penyerahan diri (islam) hanya pada Allah (tauhid) yang dibuktikan dengan dengan cara penyerahan diri hanya pada nilai kebaikan bersama (rahmatan lil alamin). Usaha para ulama untuk menjaga kemurnian hadis mesti dilanjutkan oleh masyarakat Muslim generasi berikutnya sampai sekarang agar dipastikan tidak bertentangan dengan Tauhid dan kerahmatan semesta yang menjadi misi Islam dan al-Qur’an. Hadis juga mesti dipahami dengan cara-cara yang menyebabkan Muslim bisa menyempurnakan akhlak mulianya sebagaimana misi diutusnya Rasululllah SAW yang menjadi sumber hadis. Hanya dengan menjadi manusia yang berakhlak mulia, maka kemaslahatan semesta bisa terwujud. Tindakan yang menodai kemanusiaan atau perusakan alam adalah tindakan yang jelas bertentangan dengan Islam sehingga mesti ditolak walau menggunakan hadis sebagai pembenaran.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

El-Zastrouw, Ngatawi dkk. (2020). Materi Pembelajaran Mata Kuliah Agama Islam. Jakarta:Universitas Indonesia.

 

 

 

Postingan populer dari blog ini

Latihan Soal Kegiatan Distribusi dan Konsumsi

Tentukan BENAR atau SALAH pernyataan di bawah ini dan berikan alasannya! Distribusi adalah kegiatan yang ditujukan untuk menyalurkan barang dan/ atau jasa tertentu dari produsen ke konsumen. Pak Sugiono memproduksi keripik pisang, keripik pisang yang dibuat Pak Sugiono langsung dijual di pasar. Pernyataan tersebut merupakan contoh distribusi langsung. Dalam mendistribusikan perlengkapan sekolah menggunakan mata rantai jenjang ketiga (3). Faktor pasar, barang, pedagang dan kebiasaan dalam pembelian merupakan factor-faktor yang memengaruhi distribusi. Dalam proses mendistribusikan distributor tidak memiliki fungsi sebagai penanggung resiko. T...

LATIHAN SOAL PENDALAMAN MATERI PPKN KELAS XII SMA

SOAL LATIHAN UAS Kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan pada keturunan orang yang bersangkutan merupakan asas kewarganegaraan berdasarkan …. Ius Soli Ius Sanguinis Ius apartide Ius bipartide Ius natural Yang dimaksud dengan Stelsel Aktif adalah…. Kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya Adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus Seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan Seseorang dengan sendirinya dianggap menjad...

Dampak Penggunaan Media Sosial terhadap Kesejahteraan Mental

PENDAHULUAN Pemilihan topik dampak penggunaan media sosial terhadap kesejahteraan mental didorong oleh keinginan saya untuk mengetahui apakah benar-benar ada dampak yang signifikan dari penggunaan media sosial terhadap kesejahteraan mental seseorang. Fenomena di sekitar saya, terutama dalam lingkungan pertemanan, di mana semakin banyak orang yang memutuskan untuk menonaktifkan akun media sosial mereka demi kesehatan mental, hal ini sangat mengkhawatirkan dan memancing rasa keingintahuan saya. Dalam rangka mencari pemahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan antara penggunaan media sosial dan kesejahteraan mental, saya memilih dua jurnal yang relevan, melalui penelusuran di website https://remote-lib.ui.ac.id/menu dengan kata kunci "The Impact of Social Media Use on Mental Well-being" saya akhirnya menemukan dua jurnal yang saya rasa cocok. Pertama, jurnal yang berjudul "Associ...