Selama ini muncul perdebatan yang terus menerus antara kelompok sosiolog-antropolog dengan kaum agamawan mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan. Para ahli sosiologi dan antropologi berpendapat bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan. kebudayaan terdiri dari tujuh unsur utama yang bersifat universal yaitu (1) sistem religi dan upacara keagamaan (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, (7) sistem teknologi dan peralatan. Dari unsur utama kebudayaan terlihat adanya sistem religi. Unsur-unsur utama kebudayaan yang universal itu dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan situasi, dan agama merupakan unsur yang paling sulit untuk berubah. Pandangan ini menyiratkan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan, oleh karenanya agama juga bisa mengalami perubahan. Konsekuensi lebih lanjut dari logika ini adalah agama merupakan hasil gagasan dan karya cipta manusia.
Pandangan seperti ini jelas ditolak oleh para penganut agama. Menurut para pemeluknya, agama adalah sesuatu yang sakral yang datang dari Tuhan. Agama bukanlah bikinan manusia. Setiap pemeluk agama akan mempercayai agama adalah ajaran suci, kemudian berusaha menjaga dan menyebarluaskannya. Karena agama adalah sesuatu yang datang dari Tuhan maka agama bukan menjadi bagian dari kebudayaan. Perbedaan cara pandang inilah yang membuat perdebatan, hingga memancing terjadinya konflik. Para pemeluk agama fanatik menganggap bahwa pernyataan agama sebagai bagian dari kebudayaan merupakan bentuk pelecehan terhadap agama, karena agama yang sakral, bersumber dari Tuhan tidak mungkin disamakan apalagi berada di bawah kebudayaan yang hanya merupakan produk pemikiran dan karya manusia. Dalam cara pandang ini, agama diposisikan secara vis a vis dengan agama. Keduanya dihadapkan secara diametral dan kontradiktif, sehingga muncul adagium “budaya yang diagamakan atau agama yang dibudayakan”. Adagium ini mencerminkan bagaimana hubungan antara kebudayaan dan agama seolah harus saling menguasai dan bersifat kompetitif.
Dari ratusan definisi kebudayaan yang dibangun oleh para ilmuwan ada beberapa benang merah yang merangkai berbagai definisi tersebut, yaitu: pertama, kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cita-cita manusia; kedua, kebudayaan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, baik lingkungan geografis maupun sosiologis; ketiga, kebudayaan bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan sesuai kondisi ruang dan waktu; keempat, konstruksi suatu kebudayaan dipengaruhi oleh sumber kebudayaan dan subyek dari kebudayaan. Inilah beberapa aspek penting yang terkait dengan kebudayaan. Nabi Adam diperintahkan untuk mengenal nama-nama benda. Nama adalah simbol yang dilekatkan pada suatu benda yang merepresentasikan dan mendefinisikan suatu substansi. Melalui simbol-simbol atau nama itulah agama, sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan, bisa dijelaskan kepada manusia sehingga bisa dipahami dan diamalkan. Karena substansi agama itu sangat luas, rumit dan abstrak, maka tidak sepenuhnya tercakup dalam simbol tersebut, dengan demikian representasi simbol agama ini sebenarnya juga bersifat reduktif terhadap kandungan dan substansi agama. Artinya secara faktual simbol itu reduktif dan sederhana tetapi secara substansial simbol mengandung sesuatu ajaran yang luas, mutlak dan sakral. Proses simbolisasi dan aktualisasi agama inilah yang melahirkan kebudayaan. Misalnya untuk bisa mengenal dan bisa merasa dekat dengan Tuhan ada agama yang menyimbolkan Tuhan dalam bentuk Patung, akibatnya lahirlah kebudayaan membuat patung. Agar doanya terkabul, maka harus disusun dengan bahasa yang indah. Bahasa merupakan simbol hubungan manusia dengan Tuhan. Melalui simbol bahasa inilah akhirnya lahir mantra, doa’, syair dan sebagainya, sehingga timbul budaya literasi dan sastra.
Selain simbol, hal lain yang bisa lahirkan kebudayaan dari agama adalah ritual. Misalnya ritual ibadah sembahyang atau pemujaan bisa melahirkan berbagai ragam budaya dan seni, mulai budaya berpakaian, budaya arsitektur seperti terlihat pada bangunan masjid, candi, jenis-jenis gerak tari dan iringan musik sampai ilmu pengetahuan. Kebudayaan yang bersumber dari agama ini bisa terlihat pada peradaban masyarakat Islam pada abad 8 sampai 13 M (750 M - 1258 M). Dalam sejarahnya, hubungan agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi, karena diantara keduanya ada nilai dan simbol yang dialektik. Dalam agama ada simbol yang merepresentasikan kekuasaan dan kesucian Tuhan sekaligus memuat nilai-nilai ketaatan pada Tuhan. Dalam kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Karena agama memerlukan sistem simbol, maka dengan sendirinya agama memerlukan kebudayaan agar dapat diterima, dipahami dan dijalankan oleh manusia. Hal ini menunjukkan hubungan antara agama dan budaya yang begitu erat.
Al-Quran tidak berbicara langsung dan eksplisit mengenai kebudayaan. Tak ada satu kata pun dalam Al-Quran menyebut kata kebudayaan. Dalam bahasa Arab kebudayaan sering disebut dengan istilah "ats-Tsaqofah", yang berarti pendidikan atau kebudayaan, sama dengan istilah "at-Ta'lim". Istilah lain yang sepadan dengan "ats-Tsaqofah" dan "at-Taklim" adalah "at-Ta'dib" atau "at-Tahdzib", yang mengandung arti peradaban atau pendidikan. Ada juga istilah lain yang sepadan artinya dengan istilah-istilah di atas, yaitu "Al-Hadlara", “at-Tamaddun" dan "Al-Madaniyah", yang semuanya berarti peradaban. Adab berarti sopan, kesopanan, baik budi bahasa yang telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Peradaban berarti kemajuan dan kebudayaan lahir batin. Melihat kandungan arti yang tercakup dalam istilah budaya, kebudayaan, dan peradaban di atas, maka istilah-istilah ta'lim, ta'dib, tahdzib, hadlara, tsaqafah, dan tamaddun atau madaniyah, adalah mengandung arti kebudayaan dan peradaban atau budaya dan adab.
Pengunaan akal dalam Islam tidak hanya untuk memikirkan dan mengetahui realitas yang tampak atau kongkret saja, tetapi juga pada hal-hal gaib. Agar akal tidak terjebak hanya memahami realitas faktual maka Al-Quran juga memerintahkan agar akal selalu dibimbing dan selalu merujuk hati atau kalbu. Karena kalbu mampu memahami dan menyentuh realitas spiritual yang ada di alam gaib. Melalui instrumen akal dan kalbu konsep kebudayaan Islam tidak hanya bersifat material, ilmiah dan rasional, tetapi juga immaterial, spiritual dan religius (ruhaniah). Akal bekerja untuk memahami dimensi fisik yang bersifat material, sedangkan kalbu memahami dimensi metafisik yang bersifat spiritual. Keduanya, dalam kaca mata tauhid merupakan kesatuan fungsional dari kebudayaan. Dengan demikian, sebagai proses amal, maka kebudayaan dalam Al-Quran merupakan proses kesatuan pikiran dan kalbu dalam aktivitas hidup manusia mewujudkan dirinya.
Dari ayat-ayat Al-Quran yang secara substantif mendorong terciptanya kebudayaan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, sebagai khalifah Allah di muka bumi manusia bertugas menerjemahkan segala sifat Allah dalam kehidupan dengan cara mengembangkan seluruh potensi yang telah diberikan oleh Allah kepadanya sesuai dengan batas-batas kemanusiaan (dalam batas-batas kemampuan manusia). Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia diharuskan menggunakan semaksimal mungkin segala bentuk kenikmatan yang sudah diberikan Allah kepadanya berupa alam, jiwa, akal dan hati sebagai bentuk syukur kepada Allah. Ketiga, sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia dituntut untuk kreatif dalam membuat karya-karya yang bermanfaat untuk memakmurkan bumi. Ini artinya oleh Al-Quran manusia dituntut untuk membangun budaya yang peduli pada alam dan lingkungan.
Asumsi dasar yang ditawarkan oleh para intelektual dan ulama Islam adalah Islam merupakan agama dan peradaban. Sebab Al-Quran, sebagai kitab suci agama Islam, tidak hanya mengajarkan doktrin teologis dan ritual keagamaan saja, tetapi juga memproyeksikan suatu pandangan hidup rasional yang kaya dengan berbagai konsep seminal (khususnya tentang ilmu pengetahuan) yang menjadi asas kehidupan baik individu maupun sosial sehingga berkembang menjadi suatu peradaban. Artinya, Islam adalah sebuah dîn bisa berkembang menjadi tamaddun atau peradaban karena tradisi intelektual para pemeluknya. Kebudayaan dalam kerangka Islam (Al-Quran) diartikan sebagai proses pengembangan potensi kemanusiaan, yaitu mengembangkan fitrah, hati nurani, dan daya pikir untuk melahirkan suatu karya yang bermanfaat bagi seluruh alam. Dari sudut pandang proses, Islam memandang kebudayaan sebagai upaya sungguh-sungguh untuk mendayagunakan segenap potensi kemanusiaan untuk mempertahankan dan mengembangkan akal budi. Dari sisi produk, Islam memandang kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka meningkatkan hasil kerja yang menggambarkan kualitas kemanusiaannya.
Dalam Islam dikenal konsep tsawabit dan mutaghayyirat. Artinya dalam Islam ada aspek-aspek yang tetap, tidak boleh diubah karena bersifat prinsip dan menjadi fondasi dasar dari Islam. Jika hal ini diubah maka akan meruntuhkan konstruksi bangunan teologis Islam. Aspek inilah yang dikenal dengan konsep tsawabit (tetap, pasti). Aspek ini meliputi aqidah, ushul (pokok-pokok) yang tegas, jelas dan pasti (qath’i). Seperti konsep aqidah (keesaan Allah), ritual formal (ibadah mahdlal) yang waktu pelaksanaan dan teknisnya sudah ditetapkan secara pasti sebagaimana tercermin dalam rukun Islam, serta hal-hal yang terkait dengan keimanan sebagaimana tercermin dalam rukun iman. Selain itu dalam Islam ada aspek yang bisa diubah, disesuaikan dengan kondisi dan realitas zaman, aspek ini disebut mutaghayyirat. Aspek ini, bersifat fleksibel, kondisional dan temporal, artinya bisa berubah bentuk, format dan tampilannya sesuai ruang dan waktu, tanpa mengubah substansi dasarnya yang masuk dalam aspek ini adalah hal-hal yang terkait dengan masalah mu’amalah atau relasi sosial, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem pendidikan, ilmu pengetahuan dan sejenisnya. Termasuk dalam aspek ini adalah ibadah-ibadah ghairu mahdlah, yaitu ibadah yang waktu dan prosedur pelaksanaannya tidak ditetapkan secara pasti, seperti sedekah, silaturahim dan sejenisnya.
Dari konsep tsawabit dan mutaghayyirat ini bisa dirumuskan beberapa hal sebagai berikut: pertama, Islam memberikan ruang kepada kebudayaan sebagai hasil kreativitas manusia dalam mengekspresikan keimanan kepada Allah dan mewujudkan ajaran Islam dalam kehidupan. Wilayah kebudayaan dalam Islam berada pada zona atau wilayah yang mutaghayyirat. Kedua, hubungan antara Islam dan kebudayaan bersifat resipokral mutualistis yaitu hubungan timbal balik yang saling memberikan manfaat. Islam menjadi sumber dan acuan dalam mencitakan kebudayaan, tetapi di sisi lain Islam juga bisa menyerap suatu tradisi yang berkembang di masyarakat yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam sebagaimana terlihat dalam konsep ‘urf atau al-‘adah. Ketiga hubungan antara Islam dan kebudayaan juga bersifat instrumental-fungsional. Artinya kebudayaan bisa menjadi instrumen yang berfungsi menyampaikan, mengajarkan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang ada di masyarakat. Hubungan ini bisa terlihat pada fenomena penggunaan berbagai bentuk kesenian dan kebudayaan yang ada di masyarakat sebagai sarana pendidikan dan dakwah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
El-Zastrouw, Ngatawi dkk. (2020). Materi Pembelajaran Mata Kuliah Agama Islam. Jakarta:Universitas Indonesia.