Komunikasi merupakan hal yang krusial dalam suatu masyarakat. Komunikasilah yang membolehkan enkulturasi terjadi. Dengan komunikasi, orang-orang dalam suatu masyarakat dapat memahami simbol-simbol yang menjadi representasi akan suatu makna di masyarakat tersebut. Media yang digunakan untuk komunikasi tersebut adalah bahasa.
Bahasa tersusun dari kata-kata buatan yang mewakili hal yang diwakilinya—simbol dari suatu yang diwakilinya. Kata ‘meja’ misal, ia mewakili benda yang berkaki, dapat digunakan untuk meletakkan barang, dst. Karena bahasa merupakan media komunikasi, yang mana komunikasi membolehkan enkulturasi terjadi, bahasa adalah hal yang dipelajari. Karena ia dipelajari, bahasa merupakan milik bersama dan akan selalu berubah dan berkembang ketika ada input baru terhadap bahasa tersebut untuk dipelajari.
Apa yang membedakan bahasa dengan media komunikasi lain?
Seperti yang disinggung sebelumnya, bahasa merupakan sistem komunikasi yang paling kompleks sehingga hal itu merupakan pembeda pertama. Mengapa disebut kompleks? Untuk menjawab hal itu, kita harus memahami terlebih dahulu media komunikasi lainnya.
Call Systems
Sistem ini merupakan sistem yang paling sering kita lihat di kebanyakan binatang. Sistem ini membolehkan binatang untuk mengeluarkan suara yang menandakan suatu kondisi. Akan tetapi, suara tersebut hanya dapat merespons terhadap satu kondisi. Apabila terdapat dua kondisi yang terjadi secara bersamaan, hewan hanya bisa menggunakan satu macam suara. Berbeda dengan bahasa yang mengembangkan sistem kalimat sehingga membolehkan manusia menggabungkan dua kondisi sekaligus.
Selain itu, sistem ini hanya bisa merespons terhadap kondisi yang sedang terjadi sekarang. Apabila suatu kondisi sudah atau belum terjadi, hewan tidak dapat mengeluarkan apa-apa yang menandakan kondisi tersebut. Bahasa di lain pihak membolehkan manusia untuk berimajinasi mengenai apa yang akan terjadi dan menengok kembali apa yang sudah terjadi. Seperti berbicara tentang perang, manusia dapat mengekspresikan dirinya mengenai kejamnya perang yang sudah pernah terjadi dan mengekspresikan dirinya mengenai takutnya mereka mengenai kemungkinan perang yang akan terjadi. Padahal, perang yang dimaksud tidak ada saat ini. Meskipun ada beberapa upaya untuk mengajarkan bahasa kepada hewan—primata terutama—mereka tetap belum bisa menggunakan bahasa sekompleks manusia menggunakan bahasa.
Sign Language
Salah satu metode lain yang digunakan ialah bahasa isyarat. Bahasa isyarat umumnya digunakan oleh manusia untuk mengakomodasi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik. Akan tetapi, bahasa isyarat juga diajarkan kepada hewan agar manusia dan hewan dapat berkomunikasi satu sama lain.
Hasilnya hewan—lagi-lagi primata utamanya—dapat menggunakan bahasa isyarat dengan baik. Mereka dapat berkomunikasi dengan lancar dengan manusia melalui bahasa isyarat. Mereka juga dapat mengekspresikan diri sebagaimana manusia melalui bahasa isyarat.
Dengan bahasa isyarat yang sudah menjadi “budaya” bagi primata tersebut, mereka berusaha mengajarkan primata lain bahasa isyarat yang mereka gunakan. Oleh karena itu, kita dapat melihat cultural transmission sedang terjadi. Selain itu, primata-primata tersebut juga dapat mengembangkan kata baru (productivity) melalui bahasa isyarat—hal yang umum kita lihat dalam penggunaan bahasa pada manusia. Mereka juga dapat menjelaskan hal yang tidak ada sekarang (displacement)— hal yang juga umum pada penggunaan bahasa pada manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa hewan (primata) memiliki kemampuan linguistik layaknya manusia. Namun, kritik menunjukkan bahwa hal ini tidak ada bedanya dengan hewan sirkus yang diajari beberapa trik. Pada akhirnya, meskipun hewan tersebut menunjukkan potensi untuk menggunakan bahasa layaknya manusia, tingkat kompleksitas yang ditunjukkan oleh hewan tersebut masih jauh dari manusia.
Manusia dapat mengarang suatu buku yang penuh dengan ide-ide baru secara bersamaan, sedangkan hewan hanya dapat menggunakan gerakan tangan untuk mengekspresikan dirinya dan hanya bisa menunjukkan satu atau dua ide.
Origin of Language
Untuk memahami gap yang ada ini, ada baiknya melihat sedikit bagaimana suatu bahasa lahir. Dulu manusia juga sama dengan hewan, yaitu menggunakan call systems. Lambat laun terjadi mutasi genetik dalam biologis manusia, yaitu munculnya gen yang dikenal dengan nama FOXP2. Kemunculan gen ini membolehkan manusia untuk berbicara dengan jelas. Absennya gen ini menjadi penjelas mengenai manusia yang tidak dapat berbicara secara teratur. Setelah gen tersebut muncul pada manusia, manusia lambat laun juga mengembangkan kemampuan simbolik—yaitu membuat sesuatu sebagai hal yang mewakili hal lain. Singkatnya, kemampuan untuk berpikir secara abstrak yang dibantu oleh munculnya gen tersebut.
Hal ini memberi kemampuan adaptasi yang sangat baik bagi manusia. Dengan berkembangnya bahasa, manusia dapat berpikir secara abstrak dan menyimpan informasi dan mengaitkannya dengan kondisi fisiknya sehingga ia memiliki pengetahuan mengenai bagaimana menghadapi kondisi yang ada.
Oleh karena itu, kita dapat melihat apa yang membedakan bahasa dengan media komunikasi lain, yaitu ia dapat membolehkan manusia menggabungkan dua situasi dalam satu kalimat yang sama (tidak harus terpisah layaknya hewan). Selain itu, bahasa membolehkan manusia mengembangkan kata baru, sedangkan media komunikasi hewan tidak. Ia juga tidak harus merespons terhadap kondisi sekarang, dapat membahas hal yang sudah dan akan terjadi. Bahasa juga memberi kemampuan kepada manusia untuk berpikir secara abstrak sehingga dapat menyimpan informasi lebih banyak dan menghasilkan ide yang lebih beragam. Terakhir, bahasa dipelajari, sedangkan call systems yang sering digunakan pada hewan umumnya diturunkan secara biologis.
Bagaimana antropolog mempelajari suatu bahasa secara umum maupun secara khusus?
Ada beberapa hal yang diperhatikan, baik oleh antropolog maupun ahli bahasa sekali pun, dalam mempelajari suatu bahasa.
Non-verbal Communication
Salah satu hal yang diperhatikan adalah komunikasi non-verbal, yaitu bentuk komunikasi yang tidak menggunakan bahasa secara eksplisit. Gerakan tangan, posisi tubuh, pandangan mata, dst., semuanya mengimplikasikan suatu informasi yang tidak dijelaskan oleh bahasa yang sedang digunakan.
Wanita AS cenderung menggunakan posisi tubuh yang agak tertutup saat berbicara dengan pria, sedangkan pria cenderung menggunakan posisi tubuh yang terbuka saat berbicara dengan siapa pun. Mempelajari ini semua disebut dengan kinesics. Kita mempelajari bagaimana suatu bahasa disampaikan, tidak hanya apa yang disampaikan. Gerakan tubuh, posisi tubuh, dll., menandakan bagaimana kita menyampaikan suatu informasi.
Gestur tubuh dan semacamnya melambangkan pemikiran kita—emosional atau intensi. Oleh karena itu, gestur tubuh dan kawan-kawannya merupakan simbol sehingga gestur tubuh yang digunakan oleh seseorang ketika berkomunikasi dipengaruhi oleh budaya. Hal ini menjadi penting bagi antropolog untuk dapat memahami suatu bahasa secara menyeluruh dalam konteks budayanya.
Struktur Bahasa
Hal lain yang diperhatikan oleh antropolog atau ahli bahasa dalam mempelajari suatu bahasa adalah strukturnya. Dalam mempelajari struktur suatu bahasa, muncul berbagai cabang ilmu yang dapat membantu kita:
- phonology⇒ mempelajari suara atau bunyi dari bahasa. Ia memperhatikan bunyi apa yang terdengar dalam suatu bahasa dan bunyi apa yang penting dalam suatu bahasa
- morphology⇒ mempelajari bentuk suatu kata dan pengaruh dari bentuk tersebut.
- lexicon⇒ daftar kata yang ada pada suatu bahasa.
- syntax⇒ bagaimana suatu kata disusun untuk menghasilkan kalimat yang dapat dimengerti.
Keempat hal ini merupakan hal yang penting untuk memahami suatu bahasa
Bunyi Bahasa
Salah satu hal yang menjadi fokus utama adalah bunyi dari bahasa tersebut atau yang disebut sebagai fonetik. Setiap bahasa memiliki cara bunyinya sendiri. Seperti bagaimana bahasa Inggris membunyikan /r/ berbeda dengan bahasa Prancis. Bahasa Inggris dengan bahasa Jepang misal, memiliki perbedaan mengenai /r/ di mana bahasa Inggris huruf /r/ memiliki bunyi yang jelas, sedangkan dalam bahasa Jepang antara /r/ dan /l/ agak kabur dan tidak bermasalah dalam maknanya. Perbedaan mengenai pentingnya bunyi disebut sebagai fonem.
Setiap bahasa memiliki fonemnya masing-masing. Bahasa Inggris misal, memiliki fonem /p/ dan /b/ di mana bunyi antara /p/ dan /b/ mirip, tetapi memiliki makna yang berbeda. Pit dan bit misalnya. Ketika dibunyikan, keduanya hampir mirip, tetapi karena perbedaan bunyi antara /p/ dan /b/ menyebabkan makna yang berbeda. /r/ dan /l/ juga merupakan fonem dalam bahasa Inggris karena rice dan lice misal memiliki makna yang berbeda. Bahasa Jepang di lain sisi tidak mengenal fonem /r/ dan /l/ karena perbedaan bunyi kedua fonem tersebut dalam bahasa Jepang tidak memiliki pengaruh dalam makna. Jika orang mengucapkan 愛してる misal dengan aishiteru atau dengan aishitelu orang Jepang dapat paham apa yang sedang disampaikan.
Oleh karena itu, ragam fonem dalam bahasa memengaruhi ragam fonetik dalam suatu bahasa. Semakin banyak fonem, yang umumnya ditandai dengan semakin subtle suatu fonem, semakin luas fonetik bahasa tersebut dan sebaliknya.
Language, Thought, and Culture
Hal lain yang diperhatikan oleh antropolog dalam mempelajari suatu bahasa adalah hubungannya dengan budaya dan cara pikir. Chomsky, seorang linguist, menyatakan bahwa bahasa di seluruh dunia disusun berdasarkan aturan universal (universal grammar). Oleh karena itu, kita dapat dengan “mudah” dalam mempelajari bahasa lain. Dengan kata lain, seluruh masyarakat memiliki cara pikir yang kurang lebih sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya-budaya di dunia memiliki pola yang kurang lebih sama pula (teori strukturalisme).
Hal ini didukung oleh bahasa Creole. Bahasa Creole merupakan bahasa yang stabil dengan aturan yang lebih terstandarisasi. Bahasa ini berkembang dari bahasa Pidgins yang merupakan bahasa hasil akulturasi antara dua budaya yang berbeda yang membutuhkan cara untuk berkomunikasi. Bahasa Creole di seluruh dunia memiliki fitur yang mirip, padahal mereka datang dari bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa bahasa memiliki aturan universalnya meskipun dua bahasa berbeda jauh.
Sapir-Whorf Hypothesis
Ada pendekatan lain mengenai hubungan bahasa dan cara pikir manusia. Hipotesis yang dinyatakan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf menyatakan bahwa bahasa memengaruhi cara pikir manusia. Oleh karena itu, manusia dengan bahasa yang berbeda memiliki cara pikir yang berbeda.
Bahasa Inggris yang membagi pronomina ke dalam gender yang berbeda menyebabkan orang yang berbahasa Inggris lebih peka atau berpikir dalam konteks gender. Bahasa Spanyol yang memiliki aturan tersendiri mengenai bahasa dalam konteks masa depan menyebabkan orang berbahasa Spanyol memiliki cara pandang yang berbeda dengan Inggris dalam membicarakan masa depan.
Focal Vocabulary
Lexicon atau kamus pada dasarnya berbeda setiap bahasa. Satu padanan kata bisa saja tidak ada pada bahasa lain. Oleh karena itu, daftar kata dapat memengaruhi persepsi kita terhadap sesuatu. Orang berbahasa Inggris memandang salju sebagai salju, sementara orang Eskimo memandang salju tergantung pada karakteristik tiap salju karena mereka memiliki padanan katanya tersendiri.
Hal ini dipengaruhi oleh tempat dan budaya mereka tinggal. Oleh karena itu, suatu kelompok masyarakat umumnya mengembangkan padanan kata untuk kelompoknya sendiri. Hal ini disebut sebagai focal vocabulary. Oleh karena itu, konsep ini berlawanan dengan hipotesis sebelumnya. Jika Sapir-Wholf menyatakan bahasa memengaruhi cara pikir sehingga memengaruhi budaya, konsep ini menyatakan sebaliknya. Budaya memengaruhi bahasa sehingga persepsi atau cara pikir manusia akan ikut terpengaruh.
Meaning
Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah makna dalam suatu bahasa. Suatu kata mewakili suatu makna tertentu yang berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lain. Oleh karena itu, antropolog mengembangkan ethnosemantics yaitu mempelajari bagaimana suatu masyarakat “melabeli” sesuatu atau memberi makna terhadap sesuatu. Dalam konteks bahasa, bagaimana masyarakat memberi makna terhadap suatu kata.
Seperti istilah dalam kekerabatan dan warna yang berbeda setiap masyarakat. Suatu masyarakat dapat mengatakan ‘biru’ sebagai ‘biru’, tetapi masyarakat lain bisa saja harus melihat perbedaan shade dari biru tersebut. Oleh karena itu, masyarakat memiliki caranya sendiri-sendiri dalam menentukan suatu makna yang tentunya dipengaruhi oleh budayanya.
Sociolinguistics
Aspek penting lain yang dipelajari oleh antropolog dalam mempelajari suatu bahasa adalah konteks sosial budaya tersebut atau yang disebut sebagai sociolinguist.
Perbedaan latar belakang sosial melahirkan perbedaan cara penggunaan bahasa. Meskipun mereka menggunakan bahasa yang sama, latar belakang sosial seperti kelas, gender, ras, dll., memengaruhi bagaimana mereka menggunakan bahasa. Latar belakang sosial yang berbeda mengembangkan cara penggunaan bahasanya sendiri yang lambat laun menjadi input bagi bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, perubahan bahasa terjadi dalam konteks sosial.
Linguistic Diversity
Bahasa itu beragam. Dalam satu masyarakat bisa terdapat lebih dari 10 bahasa. Seperti masyarakat Indonesia yang mana di dalamnya terdapat banyak bahasa yang hidup. Atau AS yang juga memiliki banyak bahasa hidup di dalam masyarakatnya. Perbedaan bahasa tentu disebabkan oleh latar belakang budaya yang berbeda. Indonesia yang terdiri atas beragam suku melahirkan budayanya masing-masing sehingga memiliki bahasanya masing-masing pula.
Di AS yang merupakan negara imigran menyebabkan penduduknya datang dari berbagai lokasi dengan budaya dan bahasanya sendiri-sendiri. Perbedaan bahasa ini menyebabkan apa yang disebut sebagai style shifts, yaitu perbedaan penggunaan bahasa dalam konteks yang berbeda. Hal ini melahirkan diglossia, yaitu penggunaan bahasa yang “tinggi” dan “rendah”, hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam bahasa Jepang. Orang dengan latar belakang Jawa tentu akan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam konteks professional, tetapi dengan teman dan keluarganya ia bisa saja menggunakan aksen jawanya, menggunakan kosa kata jawa, dll. Perbedaan dialek atau aksen ini dalam konsep language relativity dianggap sama karena sama-sama efektif dalam menyampaikan pesan.
Namun, dalam masyarakat, terdapat tendensi untuk menilai aksen atau dialek yang tidak sesuai standar di masyarakat. Dalam masyarakat, suatu kelompok akan dinilai oleh kelompok lain dan berimbas pada penggunaan bahasanya.
Gender Speech Contrasts
Salah satu kelompok yang ada penilaian tersendiri dalam penggunaan bahasa adalah kelompok gender perempuan. Bagaimana pria dan perempuan menggunakan bahasa sebenarnya berbeda, mulai dari pilihan kata, gramatikal, dan aksen yang digunakan. Pria yang dalam budaya masyarakat barat lebih bebas umumnya menggunakan bahasa yang lebih bebas pula. Sementara itu, perempuan yang dalam budaya masyarakat barat umumnya memiliki kekuatan lebih rendah dan aturan yang lebih ketat menyebabkan penggunaan bahasa yang lebih sophisticated atau yang lebih terstandar. Kemungkinan besar karena perempuan lebih memerhatikan media yang umumnya menggunakan bahasa yang standar.
Language and Status Position
Status seseorang dalam masyarakat juga menentukan bagaimana ia menggunakan bahasa. Honorofics merupakan panggilan yang menunjukkan rasa hormat kepada orang dengan posisi yang tinggi di masyarakat. Di bahasa Inggris kita mengenal Mr. Mrs. Dr. Prof. dst., di bahasa Jepang kita mengenal -sama, -san, dst.
Hal ini menandakan bahwa status sosial memiliki caranya sendiri dalam menggunakan bahasa dan memiliki ekspektasi tersendiri dalam penggunaan bahasa orang lain.
Stratification
Penggunaan bahasa juga menandakan adanya stratifikasi sosial di masyarakat. Tendensi menilai bahasa yang tidak sesuai standar merupakan salah satu contoh penggunaan bahasa yang mengindikasikan stratifikasi sosial. Secara umum, bahasa yang sesuai dengan standar memiliki prestise tersendiri di masyarakat. Oleh karena itu, dalam mencari pekerjaan sering terjadi diskriminasi terhadap cara berbahasa seseorang. Mereka yang dapat menggunakan bahasa dan dialek yang standar umumnya akan lebih dicari oleh employer daripada mereka yang tidak.
Oleh karena itu, kemampuan berbahasa yang “baik” umumnya akan membantu karier seseorang. Bourdieau menyatakan hal ini sebagai symbolic capital. Di mana bentuk suatu budaya, dalam hal ini bahasa, digunakan sebagai alat untuk mengakumulasi kapital. Penggunaan bahasa yang “baik” juga menyimbolkan kapital yang ia miliki. Semakin besar kapital yang dimiliki, orang umumnya akan berbahasa dengan lebih “baik”.
Hal ini dapat dilihat pada institusi formal, seperti pendidikan. Institusi pendidikan menekankan pentingnya penggunaan bahasa sesuai standar. Mereka yang berbahasa sesuai standar dapat menjalankan sekolahnya lebih lancar dan dengan begitu dapat mengumpulkan kapital lebih mudah.
African American Vernacular English
Di AS, penggunaan bahasa dalam konteks sosialnya dapat dilihat dengan penggunaan bahasa oleh orang kulit hitam. AAVE merupakan dialek dan “aturan” bahasa Inggris yang dikembangkan oleh orang-orang kulit hitam di AS. Belum ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi.
Perbedaan AAVE dengan standar bahasa Inggris umunya dilihat pada fonetiknya. AAVE umumnya tidak mengucapkan /r/, sedangkan standar Inggris mengucapkannya. Hal ini menimbulkan banyaknya homonim, yaitu kata dengan bunyi yang sama, tetapi makna yang berbeda, pada AAVE dan perbedaan homonim antara AAVE dan standar Inggris.
Karena AAVE umumnya meninggalkan pengucapan /r/ melahirkan copula deletion, yaitu penghapusan to be. Karena AAVE tidak terbiasa mengucap /r/, istilah seperti you’re tired berubah menjadi you tired. Hal ini menandakan adanya perubahan secara gramatikal.
Secara sosial, AAVE memang sering dipandang rendah. Padahal, AAVE setara dengan standar Inggris. Namun, karena standar Inggris merupakan bahasa dengan symbolic capital ia memang dianggap lebih prestisius.
How does language change in a short and lengthy period?
Secara jangka pendek, sociolinguistic bisa membantu kita menjawab hal ini. Sociolinguist melihat bagaimana latar belakang sosial yang berbeda menggunakan bahasa dengan caranya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, setiap latar belakang sosial memiliki budayanya sendiri dalam penggunaan bahasa. Merujuk pada sifat budaya yang dikontestasikan dalam masyarakat, maka penggunaan bahasa tersebut, disadari atau tidak, berkompetisi untuk mendapat tempat di masyarakat. Dalam kompetisi tersebut, perbedaan penggunaan bahasa dapat menyatu atau dapat saling mengeliminasi dan mendorong perubahan bahasa.
Historical Linguistics
Melihat sejarah dari suatu bahasa dapat membantu kita memahami perubahan bahasa dalam jangka panjang. Bahasa itu selalu berevolusi, berkembang menjadi subbagian sampai menjadi bahasa sendiri. Cara mempelajarinya adalah dengan mempelajari hubungan antara anak bahasa dan ibu bahasa (proto-language).
Bahasa Prancis misal, ia merupakan anak dari bahasa Latin. Artinya, bahasa Latin merupakan proto-language dari bahasa Prancis. Dengan mempelajari perkembangan bahasa Latin sampai ke bahasa Prancis, kita dapat melihat perubahan suatu bahasa dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini bisa terjadi, menurut saya pribadi, karena akumulasi dari perubahan jangka pendek. Berbagai kelompok masyarakat mengembangkan cara penggunaan bahasa Latin yang lambat laun melahirkan bahasa Prancis.
Proto-language untuk bahasa kuno dikenal dengan PIE atau Proto-Indo-European. Ada dua teori besar yang menjelaskan perjalanan PIE. Yang pertama ialah teori di mana PIE berkembang di Eropa dekat daerah Laut Mati dan ketika pembawa PIE menguasai Eropa dan Asia, mereka menyebarkan PIE tersebut. Penggunaan kata seperti wheel, axles, merupakan kata yang berasal dari PIE ini.
Teori lain menyatakan bahwa PIE berkembang dari Turki yang disebarkan oleh petani. Metode cognates, yaitu metode melihat kesamaan kata atau kemiripan kata dari dua bahasa, mengindikasikan bahwa PIE berasal dari Turki.
Ada juga yang menduga bahwa bahasa di Afrika merupakan ibu dari hampir seluruh bahasa kontemporer yang ada. Hal ini dibuktikan berdasarkan suatu temuan yang mempelajari 2000 bahasa. Dari hasil temuan tersebut, ditemukan bahwa bahasa berkembang dalam aturan yang teratur dalam struktur kalimatnya, yaitu SOV→ SVO→ OSV→ dan variasi seterusnya yang membentuk pola.
Oleh karena itu, pola SOV merupakan pola yang pertama. Dengan itu, kita dapat mencari bahasa tertua yang menggunakan pola tersebut dan bahasa di Afrika sekitar 50.000 tahun lalu merupakan bahasa tertua yang menggunakan pola ini.
Language, History and Culture
Bahasa berkembang juga tidak hanya karena kesamaan geografis maupun biologis penggunanya. Peristiwa-peristiwa sejarah memungkinkan kita untuk mengembangkan bahasa. Pertemuan dagang antarnegara, imigrasi, dan peperangan juga berkontribusi terhadap suatu perkembangan bahasa. Bahasa Inggris misal berkembang karena ia bertemu dengan bahasa Perancis. Bahasa Inggris dan bahasa Perancis merupakan bahasa yang berbeda mengingat proto-language mereka yang berbeda. Namun, penguasaan Inggris oleh William the Bastard (William 1) dari Norman (daerah di Prancis) membantu perkembangan bahasa Inggris. Bukti peminjaman kata juga dapat menjadi bukti bahwa dua budaya pernah berkontak dalam sejarah meskipun tidak ada bukti sejarah yang jelas menuliskan hal tersebut.
Language Loss
Perkembangan bahasa dalam jangka panjang ini umumnya berimbas pada hilangnya bahasa. Dalam 500 tahun, setidaknya sudah setengah bahasa di dunia punah dan setengahnya lagi diprediksi akan hilang dalam abad ini. Hal ini merupakan hal yang harus dicegah sebenarnya, karena, seperti yang dikatakan David Harrison, kehilangan bahasa berarti kehilangan hasil pemikiran suatu masa, makhluk, musik, matematika dst. Singkatnya, dengan hilangnya bahasa, kita bisa kehilangan cara pikir yang berbeda-beda. Apabila itu terjadi, keberagaman cara pikir di dunia dapat menghilang dan dunia dapat menjadi “monoton” karena cara pikir yang seragam.