Judul novel : Anak Rantau
Pengarang : Ahmad Fuadi
Genre : Drama, Petualangan
Penerbit : PT Falcon
Tahun terbit : 2017
Cetakan : ketiga, Oktober 2017
Jumlah Halaman : 382 halaman
ISBN : 978-602-60514-9-3
Ahmad Fuadi lahir di Bayur Maninjau, Sumatra Barat, 30 Desember 1973. Ia adalah novelis, pekerja sosial, dan mantan wartawan dari Indonesia. Novel pertamanya adalah novel Negeri 5 Menara yang merupakan buku pertama dari trilogi novelnya. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam jajaran best seller tahun 2009. Kemudian meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 dan tahun yang sama juga masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award, sehingga PTS Litera, salah satu penerbit di negeri jiran Malaysia tertarik menerbitkan di negaranya dalam versi bahasa melayu. Novel keduanya yang merupakan trilogi dari Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna telah diterbitkan sejak 23 Januari 2011 dan novel pamungkas dari trilogi ini, Rantau 1 Muara, diluncurkan di Washington DC secara simbolis bulan Mei 2013. Fuadi mendirikan Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan masyarakat yang kurang mampu, khususnya untuk usia pra sekolah. Saat ini Komunitas Menara punya sebuah sekolah anak usia dini yang gratis di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.
Memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan lulus pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, setelah lulus menjadi wartawan Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1998, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya yang juga wartawan Tempo adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September 2001 dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Hepi, anak SMP Jakarta yang terpaksa tinggal di Minang dan ia memiliki dendam besar pada Ayahnya. Dengan tekad kuat, ia bekerja di sana sini demi membeli tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta. Meskipun dilarang oleh Kakeknya, ia tetap bekerja membantu mencuci piring dan mengirim barang ke pelanggan preman insyaf. Bulan demi bulan terlewati, celengan bambunya semakin banyak, kenakalannya pun semakin menjadi-jadi bersama dua temannya, Attar dan Zen. Dendam lainnya muncul pada si pencuri sound system surau. Dari situlah, ia dan dua temannya menjadi detektif cilik memiliki markas di rumah keluarga jin, berjingkat-jingkat memasuki rumah Pandeka Luko yang terkenal ahli tenung, menangkap maling kampung, hingga menangkap pelaku sindikat narkoba di Tanjung Durian. Semua itu berlalu dengan cepat hingga akhirnya tabungan Hepi cukup untuk membeli tiket pesawat dan membalaskan dendamnya pada Ayah. Namun, sebait puisi karangan Pandeka Luko membuatnya berpikir bahwa tidak harusnya dendam itu dipendam.
Novel “Anak Rantau” ini bertemakan kekeluargaan. Penokohan dalam cerpen ini
meliputi Hepi yang memiliki sifat periang, pantang menyerah dan keras
kepala. Martiaz yang memiliki sifat keras kepala. Attar si periang dan Zen
yang penyayang binatang. Gaya bahasa yang digunakan pada buku ini sedikit
sulit dimengerti karena menggunakan kata-kata kiasan. Kemudian, alur yang
dipakai adalah alur maju. Memiliki latar waktu yaitu malam hari, siang hari
dan sore hari, serta latar tempat yaitu di rumah, di masjid dan di
lapangan.
Keunggulan di novel ini, Fuadi mengangkat tema anak rantau yang justru merantau di kampung halaman Ayahnya. Ia menuliskan setiap adegan dan suasana dengan detail, membuat pembaca seakan-akan berada pada cerita tersebut. Banyak adat istiadat yang dihadirkan dalam cerita ini, membuat para pembaca sedikit tahu tentang adat Minang. Bukan hanya adat, melainkan juga pepatah khas orang Minang dahulu. Antara bab satu dengan bab yang lainnya terdapat kesinambungan. Di awal cerita, ditampilkan cuplikan akhir cerita yang membuat penasaran. Terdapat peta di sampul belakang, membuat pembaca dapat lebih paham mengenai lokasi Kampung Tanjung Durian.
“Nak satitiak jadikan lawuik, nak sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru. Yang setetes jadikan laut, yang sekepal jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru.” (hlm. 149)
“…. Antara adat dan agama tidak untuk dipertentangkan, saling bersandar satu sama lain. Kalian amalkan agama, tapi kalian hormati pula adat istiadat kita yang kaya ini….” (hlm. 163)
Kekurangan dari novel ini ada beberapa kata hubung yang diulang dalam satu kalimat. Dan juga sesekali ada kata-kata tidak baku, padahal di dalam buku ini keseluruhannya menggunakan kata baku. Ada beberapa halaman yang cetakannya sedikit miring. Perekat pada belakang buku sedikit kurang rapih dan kuat, karena sudah mulai terbuka rekatannya.
“Seharian itu kerja Hepi mengomeli Zen karena telah membikin Ibu Ibet
ketakutan….” (hlm 89)
Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Karena di dalam buku ini terdapat banyak amanat yang dapat kita terapkan, seperti memaafkan dan melupakan sebuah dendam lama, mengajarkan anak-anak supaya lebih condong pada pendidikan agama tapi tidak melupakan adat. Saran untuk penulis adalah penggunaan kata hubung tidak diulang-ulang dalam satu kalimat, dan juga penggunaan bahasa baku dan tidak baku yang masih dicampur.
Buku yang mengisahkan tentang pembalasan dendam anak terhadap ayahnya ini membuat kita sadar bahwa sebetulnya bukan dendam yang kita pendam, melainkan rindu yang tak dapat terucap. Benar kata pepatah Minang, alam takambang jadikan guru. Dari alam kita dapat belajar kehidupan, dari alam kita dapat menemukan siapa diri kita, dan dari alam kita dapat paham bahwa hidup di kota modern pun tidak lantas membuat kita menjadi orang yang hebat.