Bakat Terpendam
Matahari mulai menyelimuti setiap lingkup kegiatan para warga, semilir angin lembut khas persawahan menyapu debu jalanan, suara kicauan burung memenuhi setiap penjuru desa, jajaran padi yang menguning tertunduk rapi, gemericik air sungai yang mengalir membuat tenang setiap orang mendengarnya, para petani sibuk dengan cangkul mereka.
“Sur, bantu Bapak kau memilah gabah dibelakang setelah itu bersiaplah sekolah!, jangan main komputer kakak kau terus”, Kata Ibu yang sedang mengiris wortel untuk usaha bisnis pastel kecil-kecilanya yang baru dua bulan beliau dirikan.
“Iya, Bu”, jawab singkat Mansur sambil mematikan komputer kakaknya.
Dengan sigap Mansur membantu Bapaknya yang sibuk memilah gabah.
Itulah kehidupan sederhana mansur di desa, kakaknya yang pergi untuk kuliah dan bekerja di ibukota, sejak dua tahun terakhir tidak mengirim kabar sedikitpun kepada keluarganya.
“Rajin sekali anak Bapak ini pagi-pagi sudah membantu Bapaknya bekerja”,puji Bapak sambil tersenyum
Mansur tersenyum malu dipuji bapaknya.
Tak terasa jarum jam telah menunjuk pukul setengah enam pagi, Mansur harus berangkat pagi karena sekolahnya jauh di kota, walau perjalanan medan yang ia tempuh jauh dan sulit untuk anak seusianya, tetapi hal tersebut tidak melarutkannya untuk tetap semangat mencari ilmu. “Bu mansur berangkat dulu” ucap Mansur sambil berpamitan mencium tangan Ibunya ”hati-hati ya Nak” jawab Ibunya sambil mengusap kepala mansur, sepeda tua mansur melaju sangat lincah di setiap medan yang ia lewati, satu jam berlalu sepeda tua milik mansur pun telah terparkir diantara motor-motor milik teman -temannya .
“Hey, anak petani!”,seru Deo didepan kelasnya,bersama tawa teman-teman lainnnya.
Itulah julukan yang setiap hari ia dengar dari teman smp-nya. walau sering di bilang anak petani, si miskin , si anak desa tetapi mansur tetap memiliki banyak teman yang membesarkan hatinya.
“Jangan dengarkan mereka mansur”,saut anwar mencoba membesarkan hati mansur.
“Krrriiiinnnggg!!!”, bunyi bising bel masuk kelas berdering kencang, anak-anak yang masih berada di luar kelas diikuti wali kelas segera memasuki ruangan kelas.
“Selamat datang di kelas delapan anak-anak, hari ini kalian akan memilih ekstrakurikuler yang akan kalian jalani sepanjang tahun ajaran ini, silahkan isi kertas ekskul yang kalian minati masing-masing”, wali kelas mengumumkan.
“Kau ikut ekskul apa mansur?”,tanya Anwar teman semeja mansur.
“Aku belum tahu War, apa yang harus ku ikuti”.
15 menit berlangsung, teman teman lainnya sudah mengumpulkan kertas minat ekskul mereka, kecuali mansur.wali kelas pun menghampiri meja mansur.
“Ekskul apa yang kamu minati mansur?” tanya Pak Bowo
“Saya belum tahu pak”,jawab singkat mansur.
“Bagaimana kalau kamu mengikuti ekskul jurnalistik, kebetulan bapak adalah pembina ekskul itu”, tawar Pak Bowo.
“Baiklah Pak saya akan mengikuti ekskul itu”, jawab Mansur dengan sedikit ragu-ragu.
Sore itu adalah waktu bagi seluruh anak smp untuk mengikuti ekskulnya masing-masing. Mansur berjalan ke arah ruang jurnalistik, di sana telah duduk Tsabina,Belva,dan Iwan dengan laptop nya masing-masing.
“Hai, nama saya Mansur kelas delapan, saya di suruh pak bowo untuk mengikuti ekskul jurnalistik ini”,kata Mansur mencoba menyapa ramah.
“Lihatlah dia itu kan si anak petani, laptop aja nggak punya, masa pengen gabung sama ekskul kita?”, bisik Iwan kepada Belva dan Tsabina.
“nama kamu Mansur kan?, duduk sini”, jawab Tsabina tidak peduli pada Iwan.
Mansur pun duduk terdiam dengan membaca buku yang dibawanya, sementara yang lainnya sibuk dengan laptop mengerjakan tugas jurnalistiknya masing-masing.
Hari-hari pun berjalan sama, sampai tiba hari ke-empat dimana deadline lomba jurnalistik tingkat smp se-kota, tinggal 3 hari lagi.
“Bapak yakin memasukan mansur ke ekskul jurnalistik kita?”, adu Iwan kepada Pak Bowo.
“Memangnya kenapa Wan?”
“Mansur aja nggak punya laptop pak, apalagi dia nggak ngapa-ngapain dari kemarin”
“Berarti kamu cuma diem-dieman sama mansur pas ekskul dari kemarin?”tanya pak bowo.
“Ya tapi gimana pak, ekskul kita kan hanya tinggal membutuhkan ilustrator yang handal untuk melengkapi keanggotaan ekskul kita”
“Mansur aja gak punya laptop, apalagi dari kemarin dia cuman baca bukunya saat ekskul”, jawab Iwan memprotes.
“Bukan gara- gara dia miskin kamu gak bisa satu ekskul dengan mansur, bukan karena dia dari desa kamu tidak bisa satu sekolah dengannya, bukan karena dia anak petani kamu gak mau bergaul sama dia. Walaupun kalian berbeda, bapak harap kalian semua bisa bersatu membangkitkan ekskul jurnalistik ini Wan”.
Iwan kembali ke ruangan jurnalistik sambil merenung.
“Eh,Bel kamu bisa gambar gak?”, tanya Tsabina ke Belva
“Gak bisa aku, kalo gambar pake laptop”, jawab singkat Belva.
“Kalo kamu Wan, bisa gak?”
“Gak bisa aku Tsa”
“Eh kalo kamu Sur bisa gak gambar pake laptop?”
“Bisa sih tapi gak terlalu mahir”, jawab Mansur merendah diri.
Sehari berlalu tugas menggambar dari Tsabina sudah diselesaikan oleh Mansur. Iwan, Belva,dan Tsabina pun terpukau melihat hasil gambar Mansur.
“Akhirnya kita punya ilustrator buat ekskul kita!”, teriak Tsabina dengan gembira.
“Gambarmu bagus juga Sur”, puji Iwan sambil tersenyum.
“Ternyata kamu bisa desain gambar pake laptop Sur, tau begitu dari kemarin kita kan bisa lebih baik.”
Lengkap sudah tugas mereka untuk mengikuti lomba jurnalistik tingkat kota se-smp, dan pada hari pengumuman lomba, mereka pun meraih juara.
Mendengar berita tersebut, teman-temannya di sekolah perlahan mulai berhenti memanggil Mansur dengan panggilan anak petani, kini Mansur memiliki banyak teman termasuk temannya yang dulu sering mengejeknya .